Peran Pendidikan dalam Membangun Karakter

Tujuan pendidikan adalah untuk pembentukan karakter yang terwujud dalam kesatuan esensial antara subyek dengan perilaku dan sikap hidup yang dimilikinya. Bagi Foerster (dalam Koesoema, 2005), karakter merupakan sesuatu yang mengualifikasi seorang pribadi. Tujuan pendidikan adalah untuk pembentukan karakter yang terwujud dalam kesatuan esensial si subyek dengan perilaku dan sikap hidup yang dimilikinya. Bagi Foerster, karakter merupakan sesuatu yang mengualifikasi seorang pribadi.

Sistem pendidikan yang ada di Indonesia terlalu banyak berorientasi dengan pengembangan otak kiri (kognitif), serta kurang mengembangkan otak kanan  (afektif, empati, rasa). Padahal pengembangan karakter lebih berkaitan dengan optimalisasi otak kanan. Mata pelajaran yang berkaitan dengan otak kanan pun (seperti budi pekerti, agama) pada prakteknya lebih banyak mengoptimalkan otak kiri ( seperti “hapalan”, atau hanya sekedar tahu).

Padahal pembentukan karakter harus dilakukan secara sistematis dan berkesinambungan yang melibatkan aspek “knowledge, feeling, loving dan acting”. Pembentukan karakter dapat diibaratkan sebagai pembentukan seseorang menjadi body builder (binaragawan) yang memerlukan “latihan otot-otot akhlak” secara terus menerus agar menjadi kokoh dan kuat.

Pada dasarnya, anak yang kualitas karakternya rendah adalah anak yang tingkat perkembangan emosi-sosialnya rendah, sehingga anak beresiko besar mengalami kesulitan dalam belajar, berinteraksi sosial, dan tidak mampu mengontrol diri. Mengingat pentingnya penanaman karakter di usia dini dan mengingat usia prasekolah merupakan masa persiapan untuk sekolah yang sesungguhnya, maka penanaman karakter yang baik di usia prasekolah merupakan hal yang sangat penting untuk dilakukan.

Thomas Lickona (1991) mendefinisikan orang yang berkarakter sebagai sifat alami seseorang dalam merespons situasi secara bermoral—yang dimanifestasikan dalam tindakan nyata melalui tingkah laku yang baik, jujur, bertanggung jawab, menghormati orang lain dan karakter mulia lainnya. Pengertian ini mirip dengan apa yang diungkapkan oleh Aristoteles, bahwa karakter itu erat kaitannya dengan “habit” atau kebiasaan yang terus menerus dilakukan.

Menurut Berkowitz dkk.(1998), kebiasaan berbuat baik tidak selalu menjamin bahwa manusia yang telah terbiasa tersebut secara sadar (cognition) menghargai pentingnya nilai-nilai karakter (valuing). Misalnya seseorang yang terbiasa berkata jujur karena takut mendapatkan hukuman, maka bisa saja orang ini tidak mengerti tingginya nilai moral dari kejujuran itu sendiri. Oleh karena itu, pendidikan karakter memerlukan juga aspek emosi. Oleh Lickona (1991), komponen ini adalah disebut “desiring the good” atau keinginan untuk berbuat baik.

Pendidikan tidak lagi mementingkan kecerdasan otak kiri (IQ), yang lazim disebut headstart. Namun, saat ini yang lebih dipentingkan adalah kecerdasan emosi yang lebih banyak menggunakan otak kanan, yang disebut heartstart. Pada metode headstart, anak ditekankan “harus bisa” sehingga ada kecenderungan anak dipaksa belajar terlalu dini. Hal ini membuat anak stres, karena ada ketidaksesuaian dengan dunia bermain dan bereksplorasi yang saat itu sedang dialaminya. Sebaliknya, pola heartstart menekankan pentingnya anak mendapatkan pendidikan karakter (social emotional learning), belajar dengan cara yang menyenangkan (joyful learning), dan terlibat aktif sebagai subjek bukan menjadi objek (active learning).

Sebagian besar kunci sukses menurut hasil penelitian mutakhir sesungguhnya lebih banyak ditentukan oleh pemberdayaan otak kanan (kecerdasan emosi) daripada otak kiri (kecerdasan intelektual). Namun ternyata kurikulum di sekolah justru sebaliknya. Hal ini menjadi sumber kerawanan bagi anak : melakukan tawuran, terjerumus pada narkoba, dan lain-lain, karena anak merasa terlalu terbebani dan stres.

Sumber :

Lickona, Thomas, (1991), Educating for Character How Our Schools Can Teach Respect and Responsibility, New York: Bantam Books.

Koesuma. (2005). dikutip dalam Duniaesai.com/pendidikan karakter

Leave a comment