Brida

Semua orang memiliki “takdir” yang harus dijalani. Dalam setiap kehidupan, setiap kita merasakan suatu kewajiban misterius untuk menemukan setidaknya satu dari para pasangan jiwa.

“But how will I know who my Soulmate is?” Brida felt that this was one of the most important questions she had ever asked in her life. “By taking risks” Wicca said to Brida. “By risking failure, disappointment, disillusion, but never ceasing in your search for Love. As long as you keep looking, you will triumph in the end.”

Brida melemparkan pertanyaan paling penting dalam hidup kita, “Apa yang kaucari dalam kehidupan ini?”. Brida O”Fern, seorang gadis Irlandia berusia sekitar dua puluhan tahun, mengalami sebuah perjalanan yang mengisi jiwa untuk menemukan makna hidupnya. Paulo Coelho menuliskan perjalanannya dalam sebuah novel tentang supranatural, cinta, dunia sihir, reinkarnasi dan pencerahan.

Kisah ini diawali dengan pertemuan Brida dengan Magus, Sang Guru pertamanya. Brida mengungkapkan keinginan untuk belajar tentang ilmu sihir dari Magus. Sang Guru digambarkan sebagai lelaki paruh baya yang mengasingkan diri di hutan. Magus mengarahkan Brida ke guru lain, yaitu Wicca, seorang wanita. Guru ini mengantar Brida menapaki perlahan-perlahan dalam proses untuk menemukan potensi dan misteri tersembunyi di dalam dirinya.

Wicca menyebutkan bahwa setiap pencarian diri itu tidak akan menemukan kegenapannya jika seseorang tidak menemukan belahan jiwanya. ”Dalam setiap kehidupan, kita merasakan suatu kewajiban misterius untuk menemukan setidaknya satu dari para pasangan jiwa itu. Kita mungkin membiarkan pasangan jiwa kita berlalu, tanpa menerima mereka, atau bahkan menyadari keberadaan mereka. Maka kita akan membutuhkan inkarnasi berikutnya untuk menemukan pasangan jiwa itu. Dan akibat keegoisan kita, kita dikutuk dengan siksaan terburuk yang pernah ditemukan manusia untuk diri mereka sendiri : Kesepian.”

Pada akhirnya esensi penciptaan adalah satu dan satu adanya. Dan esensi itu adalah cinta. Cinta adalah kekuatan yang membawa kita kembali menyatu, merangkum berbagai pengalaman yang terpancar keluar ke banyak kehidupan dan bagian dunia. “Kita adalah para pasangan jiwa sejak awal waktu. Jika mereka baik-baik saja, kita juga akan bahagia. Jika keadaan mereka tidak baik, kita akan merasakan, betapapun kita tidak menyadarinya, sebagian rasa sakit mereka. Namun diatas segalanya, kita bertanggung jawab atas pertemuan kembali, setidaknya sekali dalam setiap inkarnasi, dengan pasangan jiwa yang pasti akan berpapasan di jalan kita. Meski hanya sekejap, karena waktu yang sekejap itu akan membentuk cinta yang begitu dalam hingga sekejap itu membawa sebentuk cinta yang begitu dalam hingga mampu membenarkan seluruh hari yang kita miliki.”

Coelho berhasil mengajak pembaca untuk mempertimbangkan gagasan reinkarnasi, yang memainkan peran penting dalam agama Wicca. Ia juga memperkenalkan gagasan atau kemungkinan untuk menemukan dan mencintai dua atau lebih belahan jiwa dalam hidup yang sama. “Bagaimana jika dalam satu masa hidup, seseorang menemukan lebih dari satu belahan jiwa?” tanya Brida pada Wicca. Brida merasakan perasaan cintanya kepada kekasihnya, namun merasakan ikatan spiritual yang kuat dengan Magus. “Yang terjadi adalah kesedihan, air mata, dan kedukaan yang amat pedih.” jawab sang guru.

Brida akhirnya memang menemukan fakta pahit bahwa sang belahan jiwanya bukanlah Lorens, kekasihnya, melainkan Magus. Brida mencintai Lorens yang bukan belahan jiwanya. Sementara itu, meskipun semenjak awal pertemuan, Magus menyadari sepenuhnya bahwa Brida adalah pasangan jiwanya, namun ia mencintai Wicca yang bukan belahan jiwanya.

Pada akhirnya setiap orang harus menjalani realitas yang ada. Setiap kegagalan, kesedihan dan penderitaan, mungkin hanya cara Tuhan untuk menunjukkan jalan yang harus kita tempuh.

“When you find your path, you must not be afraid. You need to have sufficient courage to make mistakes. Disappointment, defeat, and despair are the tools God uses to show us the way.”

Bicara Cinta : Pendekatan Neo-analitik

Erik Erikson berfokus pada keenam tahap perkembangan psikoseksual, ketika individu mencapai usia sekitar duapuluh tahun ke atas  (dan telah mencapai kedewasaannya) yaitu pada saat cinta yang matang berkembang. Erik Erikson mencatat bahwa selama tahap ini, Intimacy vs Isolation, seorang dewasa muda siap untuk berkomitment pada yang lain, membentuk sebuah relasi akrab dan mengalami cinta. Menurut Erikson, hanya mereka yang menemukan identitasnyalah yang akan mengalami intimacy, dan cinta yang sebenarnya. Sementara mereka yang identitas egonya tidak lengkap akan tetap terisolasi atau terlibat dalam relasi yang keliru seperti aktifitas seksual bebas  atau hubungan yang dangkal. Erikson memandang cinta sebagai hasil dari perkembangan yang sehat dan normal.

Suatu pendekatan modern dari Phillip Shaver dan rekan-rekannya juga berdasarkan pada pemahaman pada perkembangan seorang anak. Shaver menggunakan model-model kelekatan yang dipelajari ketika anak-anak untuk menjelaskan perbedaan dalam kualitas relasi dewasa. Gagasannya adalah bahwa hakekat relasi kelekatan pada masa kanak-kanak sampai taraf tertentu akan mencerminkan di relasi romantic di kemudian hari. Cara berpikir ini secara langsung diturunkan dari teori Neo-analitik dari Karen Horney, yang melibatkan kecemaan dasar yang tidak terselesaikan dan dari berbagai studi terkait yang menyangkut dasar-dasar biologis dari kelekatan bayi, seperti kelekatan yang telah diteliti oleh John Bowlby dan Mary Ainsworth.

Menurut Shaver dan koleganya, terdapat tiga gaya kelekatan romantk yaitu :

a)     Secure Lovers, yang secara mudah membentuk relasi dekat dengan orang lain dan membiarkan orang lain dekat dengannya.

b)     Avoidant Lovers, yang merasa tidak nyaman ketika mereka dekat dengan orang lain atau ketika orang lain dekat dengannya. Tipe ini cenderung memiliki masalah untuk mempercayai dan dipercayai oleh orang lain. Biasanya terjadi pada anak-anak dari keluarga alkoholik.

c)      Anxious-Ambivalent Lovers, yang ingin dekat namun merasa tidak aman dengan relasinya dan barangkali takut jika partnernya merasa putus asa atau kecewa dengan relasi yang terjalin.

Sekitar setengah dari orang-orang yang diteliti digolong dalam Secure Lovers, sedangkan sisanya digolongkan dalan Avoidant Lovers dan Anxious-Ambivalent Lovers. Gaya kelekatan inividu dapat diprediksi dari kualitas relasi mereka dengan orang tuanya.

Bicara Cinta : The Art of Loving

Februari seringkali diidentikkan dengan bulan kasih sayang. Setiap individu memaknai cinta dengan berbagai cara. Demikian juga beberapa ahli memberikan berbagai makna terhadap cinta itu sendiri.

Erich Fromm mengkombinasikan perspektif humanistic dan psikoanalitik ke dalam teorinya mengenai cinta. Bagi Fromm, manusia modern menderita alienasi dan kesepian yang disebabkan oleh kondisi masyarakat. Namun tidak seperti Sigmund Freud yang memandang cinta dan seks sebagai ekspresi sifat dasar manusia yang bersifat instingtif dan hewani, Fromm melihat cinta sebagai sebuah karakteristik yang unik yang sebenarnya memanusiakan pria dan wanita. Dalam rangka meredakan perasaan keterasingan, manusia mencari kontak dengan dunia di sekitar mereka, dan khususnya, dengan individu lain. Cinta merupakan hasil positif dari perjuangan individu untuk bergabung dengan individu lainnya.

Selanjutnya, Fromm mendeskripsikan berbagai karakteristik yang dapat membedakan berbagai kualitas dan tipe cinta. Sebagai contohnya, cinta yang tidak matang jika dalam menerima cinta seseorang lebih besar daripada dalam memberikan cinta. Kepribadian seorang individu yang matang, akan mampu memberikan cinta sebesar menerima cinta itu sendiri.

Dalam cinta yang matang, setiap individu peduli satu sama lainnya. Selain itu menurut Miller & Siegel, individu dengan cinta yang matang merasa bertanggung jawab terhadap satu sama lain, bukan sekedar melakukan kewajiban, namun memberi secara tulus. Cinta yang matang juga mencakup penghargaan terhadap perkembangan pasangannya. Agar dapat mencintai secara matang, setiap orang harus memiliki pengetahuan mengenai pasangannya. Fromm memandang cinta sebagai sesuatu yang lebih kompleks dibandingkan hanya sekedar suatu cara untuk meredakan ketegangan seksual.

Tipe cinta menurut Fromm dimulai dengan jenis cinta keibuan (motherly love) yaitu cinta yang sepenuhnya bersifat satu sisi dan tidak setara. Ibu memberikan cinta tanpa bersyarat dan tidak meminta balasan. Dari cinta ibu ini, anak memperoleh rasa stabilitas dan keamanan. Cinta persaudaraan (brotherly love) melibatkan cinta terhadap semua orang, yaitu semua jenis manusia. Sedangkan cinta erotic (erotic love), merupakan cinta yang diarahkan pada individu tunggal, cinta erotic bersifat sementara, keintiman yang hanya bersifat sesaat. Dalam kasus-kasus semacam ini (jika cinta erotic dominan), individu dapat beralih dari kekasih satu kepada kekasih satunya dengan cepat. Orang yang terlibat hanya dalam cinta erotic,  tidak mengalami cinta yang sebenarnya, namun hanya memuaskan kebutuhan seksualnya ataupun meredakan kecemasan.  Saya mengenal beberapa orang  yang dominan cinta eroticnya. Mereka cenderung impulsive dalam memutuskan sebuah hubungan. Hubungan yang mereka jalin terkadang hanya sesaat. Selain itu, mereka cenderung mudah tertarik dengan orang lain dengan begitu cepatnya. Sesudahnya,  mereka akan beralih kepada individu lain, dengan alasan yang cenderung menyalahkan pasangan sebelumnya.

Cinta yang matang (mature love) sebenarnya menggabungkan elemen-elemen dari cinta persaudaraan dengan cinta pada diri. Seseorang harus mampu mencintai dirinya sendiri dan memiliki kesetiaan agar dapat menggabungkan cinta persaudaraan sebelum dapat mencintai secara berhasil dan matang. Erich Fromm berkeyakinan pemuasan seksual secara langsung tidak memudahkan cinta, namun kepuasan seksual akan mengikuti cinta yang sebenarnya. Ide ini menyatakan bahwa seks yang terbaik datang dari relasi yang penuh cinta.

Jika seorang wanita mencari relasi yang tidak pernah didapatkan dari ayahnya, atau jika seorang pria mencari cinta kasih ibu, tidak satupun dari keduanya akan dipuaskan sepenuhnya. Relasi cinta yang seperti itu merupakan contoh dari cinta neurotic. Demikian juga, jika individu menyerahkan indetitasnya sendiri dan memuja pasangannya, hasilnya adalah sebuah bentuk cinta yang semu (pseudo-love)

Di Tepi Sungai Piedra, Aku Duduk dan Menangis (By The River Piedra I Sat Down and Wept)

“Di tepi Sungai Piedra aku duduk dan menangis. Ada legenda bahwa segala sesuatu yang jatuh ke sungai ini -dedaunan, serangga, bulu burung- akan berubah menjadi batu yang membentuk dasar sungai. Kalau saja aku dapat mengeluarkan hatiku dan melemparkannya ke arus, maka kepedihan dan rinduku  akan berakhir, dan akhirnya aku pun melupakan semuanya.

Di tepi Sungai Piedra aku duduk dan menangis. Udara musim dingin membuat air mata yang mengalir di pipiku terasa dingin, dan air mataku menetes ke air sungai dingin yang mengelegak melewatiku. Di suatu tempat entah dimana, sungai ini akan bertemu sungai lain, lalu yang lain lagi, hingga –jauh dari hati dan pandanganku– semuanya menyatu dengan lautan. Semoga air mataku mengalir sejauh-jauhnya, agar kekasihku tak pernah tahu bahwa suatu hari aku pernah menangis untuknya. Semoga air mataku mengalir sejauh-jauhnya, agar aku dapat melupakan Sungai Piedra, biara, gereja di Pegunungan Pyrenee, kabut, dan jalan-jalan yang kami lalui bersama. Aku akan melupakan jalan-jalan, pegunungan, dan padang-padang mimpi-mimpiku, mimpi-mimpi yang takkan pernah menjadi kenyataan.” Demikian prolog yang ditulis Paulo Coelho untuk menggambarkan cinta dengan kepedihannya.

–∞∞∞∞∞–

“Cinta adalah perangkap. Ketika ia muncul, kita hanya melihat cahayanya, bukan sisi gelapnya.” Demikian yang semula dipercayai oleh Pilar. Pilar adalah seorang gadis yang tumbuh dewasa di sebuah kota. Tumbuh selayaknya seorang gadis dalam masa mudanya. Meniti studinya, berjuang dalam karirnya serta merangkai cinta bersama kekasih-kekasih hatinya. Tetapi di sisi hidupnya,  ia memiliki ikatan kasih dengan teman pria masa kecilnya. Sepucuk demi sepucuk surat membawa kepada rangkaian hubungan kasih yang terpatri di dalam angannya. Dari ribuan kota kekasih hatinya ini mengirimkan cerita-cerita tentang kehidupannya.

Tapi apa yang terjadi ketika ia bertemu dengan kekasihnya setelah sebelas tahun?? Waktu menjadikan Pilar seorang wanita yang tegar dan mandiri. Sedangkan kekasih pertamanya telah menjelma menjadi seorang pemimpin spiritual yang tampan dan kharismatik. Dengan sejuta harapan, dibawa dirinya untuk melakukan  perjalanan selama 4 jam dari Zaragoza ke Madrid. Hanya untuk kembali mengenang masa lalu, mendengarkan suara pria dari masa lalunya, menatap wajah tampan pria dari masa lalunya. Pertemuan setelah sebelas tahun tersebut membawanya ke dalam petualangan dalam memahami cinta dan kehidupan. Pilar telah belajar mengendalikan perasaan-perasaannya dengan sangat baik, sedangkan kekasihnya memilih kehidupan agama sebagai bentuk pelarian bagi konflik-konflik batinnya. Perjalanan tidak mudah, sebab dipenuhi oleh sikap menyalahkan dan penolakan yang muncul kembali setelah lebih dari sepuluh tahun terkubur dalam-dalam di hati mereka. Dan pada akhirnya, di tepi sungai Piedra, cinta mereka sekali lagi dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan terpenting yang bisa disodorkan oleh kehidupan.

–∞∞∞∞∞–

Buku “By The River Piedra I Sat Down and Wept” ini bercerita tentang arti pentingnya penyerahan diri. Cerita pada tokoh-tokoh dalam buku ini menggambarkan tentang konflik-konflik yang kita hadapi dalam perjalanan mencari cinta.  Paulo Coelho mengatakan bahwa cepat ataupun lambat, kita harus menghadapi ketakutan kita, karena jalan spiritual hanya dapat ditempuh melalui pengalaman sehari-hari akan cinta.Dalam pengantarnya, Paulo Coelho melukiskan bahwa terkadang orang merasa menderita karena cinta yang sia-sia. Kita menderita karena telah memberikan lebih dari yang kita terima. Kita menderita karena cinta yang bertepuk sebelah tangan. Kita menderita karena kita tidak dapat memaksakan kehendak kita sendiri. Namun sebenarnya tidak ada alasan untuk menderita, sebab dalam setiap  cinta ada benih pertumbuhan diri. Semakin kita mencintai, semakin kita dekat dengan pengalaman spiritual. Mereka yang benar-benar dicerahkan dan jiwanya diterangi oleh cinta akan sanggup mengatasi setiap rintangan dan prasangka jamannya. Mereka dapat bernyanyi, tertawa dan berdoa dengan lantang ; mereka menari dan mengalami apa yang oleh Santo Paulus disebut “Kegilaan yang Kudus”. Mereka bahagia, karena orang-orang yang mencintai akan menakhlukkan dunia dan tidak takut akan kehilangan. Cinta sejati adalah penyerahan diri yang seutuhnya.

Akhirnya seperti Thomas Merton pernah mengatakan bahwa, pada dasarnya kehidupan spiritual adalah mencintai. Kita tidak mencintai demi melakukan kebaikan atau untuk menolong dan melindungi seseorang. Kalau sikap kita seperti itu, kita menjadikan orang lain sebagai objek dan kita mengganggap diri kita orang yang bijaksana dan murah hati. Mencintai adalah melebur dengan orang yang kita cintai dan menemukan percikan Tuhan di dalam dirinya.

Saddest Poem

I can write the saddest poem of all tonight.

Write, for instance: “The night is full of stars,
and the stars, blue, shiver in the distance.”

The night wind whirls in the sky and sings.

I can write the saddest poem of all tonight.
I loved her, and sometimes she loved me too.

On nights like this, I held her in my arms.
I kissed her so many times under the infinite sky.

She loved me, sometimes I loved her.
How could I not have loved her large, still eyes?

I can write the saddest poem of all tonight.
To think I don’t have her. To feel that I’ve lost her.

To hear the immense night, more immense without her.
And the poem falls to the soul as dew to grass.

What does it matter that my love couldn’t keep her.
The night is full of stars and she is not with me.

That’s all. Far away, someone sings. Far away.
My soul is lost without her.

As if to bring her near, my eyes search for her.
My heart searches for her and she is not with me.

The same night that whitens the same trees.
We, we who were, we are the same no longer.

I no longer love her, true, but how much I loved her.
My voice searched the wind to touch her ear.

Someone else’s. She will be someone else’s. As she once
belonged to my kisses.
Her voice, her light body. Her infinite eyes.

I no longer love her, true, but perhaps I love her.
Love is so short and oblivion so long.

Because on nights like this I held her in my arms,
my soul is lost without her.

Although this may be the last pain she causes me,
and this may be the last poem I write for her.

by Pablo Neruda